Blog Pendidikan Agama Islam

Senin, 14 September 2020

SYAJA'AH (BERANI MEMBELA KEBENARAN) DALAM MEWUJUDKAN KEJUJURAN

Membuka Relung Hati

Sikap jujur merupakan sikap positif yang harus dimiliki setiap orang. Namun pada saat sekarang, kejujuran merupakan hal yang mulai langka dan jarang dapat kita jumpai. Kejujuran dapat menunjukkan jalan kebaikan yang nantinya dapat membantu mengantarkan kita ke surga.Sikap jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia. Kehidupan dunia akan hancur dan agama juga menjadi lemah di atas kebohongan, khianat serta perbuatan curang.

Kejujuran harus ditegakkan meskipun berat dan susah. Orang yang jujur akan menjadi mulia di sisi Allah Swt. maupun di sisi manusia. Ungkapan tentang “orang jujur akan hancur” adalah keliru. Allah Swt. menyifatkan diri-Nya dengan kejujuran. Ini adalah bukti kesaktian jujur. Sekarang ini makin terbuka mata kita terhadap keunggulan perilaku jujur. Betapa banyak orang yang tidak jujur harus masuk penjara.
Kejujuran adalah pujian dari Allah Swt. untuk diri-Nya. Allah Swt. memiliki sifat jujur dalam semua berita-Nya, syari’ah-Nya, dalam kisah-kisah-Nya. Semuanya yang datang dari Allah Swt. semuanya benar.

Artinya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan terjadinya. Siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (Q.S. an-Nisa’/4:87)

Mengapa sikap jujur itu penting? Karena kejujuran dapat membuat hati kita nyaman dan tenteram. Ketika kita berkata jujur, tidak akan ada ketakutan yang mengikuti atau bahkan kekhawatiran tentang terungkapnya sesuatu yang tidak kita katakan. Seseorang yang terbiasa berkata jujur akan merasa tidak nyaman saat dia berkata bohong walau hanya sekali.
Semoga kita mampu berbuat jujur dalam segala hal. Yakinlah, Allah Swt. pembela kita semua. Orang yang jujur pasti akan mujur (beruntung).

PENTINGNYA MEMILIKI SIFAT SYAJA'AH

Allah Swt. memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar tidak menjadi penakut dan pengecut. Karena rasa takut dan pengecut akan membawa kegagalan dan kekalahan. Keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman pada Allah Swt. mengajarkan kita menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam tantangan dalam hidup ini. Tantangan utama yang kita hadapi adalah memperjuangkan kebenaran, meskipun harus menghadapi berbagai rintangan. Rasulullah saw. menjelaskan dalam sabdanya:

      Artinya: “Katakanlah yang benar walaupun itu pahit”                                              (H.R. Ahmad). 


Islam tidak menyukai orang yang lemah/penakut. Orang yang lemah/penakut biasanya tidak berani untuk mempertahankan hidup sehingga gampang putus asa. Ketakutan itu diantaranya karena takut dikucilkan dari lingkungannya. Takut karena berlainan sikap dengan banyak orang atau takut untuk membela sebuah kebenaran dan keadilan.
Keberanian dalam ajaran Islam disebut Syaja’ah. Syaja’ah menurut bahasa artinya berani. Sedangkan menurut istilah syaja’ah adalah keteguhan hati, kekuatan pendirian untuk membela dan mempertahankan kebenaran secara jantan dan terpuji. Jadi syaja’ah dapat diartikan keberanian yang berlandaskan kebenaran, dilakukan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan untuk mengharapkan
keridaan Allah Swt.
Keberanian (syaja’ah) merupakan jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dalam keimanan. Tidak boleh ada kata gentar dan takut bagi muslim saat mengemban tugas bila ingin meraih kegemilangan. Semangat keimanan akan selalu menuntun mereka untuk tidak takut dan gentar sedikit pun. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.     (Q.S. Ali Imran/3: 139)

PENTINGNYA MEMILIKI SIFAT JUJUR

Nabi menganjurkan kita sebagai umatnya untuk selalu jujur. Kejujuran merupakan akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada kebajikan, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw.,

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah: “Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga....”  (H.R. Muslim)

Sifat jujur merupakan tanda keislaman seseorang dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Pemilik kejujuran memiliki kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan. Dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa orang yang jujur akan dipermudah rezeki dan segala urusannya. Contoh yang perlu diteladani adalah kejujuran, Nabi Muhammad saw. ketika belau dipercaya oleh Siti Khadijah untuk membawa barang dagangan lebih banyak lagi. Selama membawa barang dangan tersebut, beliau selalu menerapkan kejujuran. Kepada para pembelinya, beliau selalu berkata jujur tentang kondisi barang dangan yang dijualnya. Sifat jujur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. selama berdagang mendatangkan kemudahan dan keuntungan yang lebih besar. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad saw. adalah contoh dalam kehidupan sehari-hari tentang hikmah perilaku jujur. Kamu dapat mencari contoh lainnya. Sebaliknya, orang yang tidak jujur atau bohong akan dipersulit rezeki dan segala urusannya. Orang yang pernah berbohong akan terus berbohong karena untuk menutupi kebohongan yang diperbuat, dia harus berbuat kebohongan lagi.

Bersyukurlah bagi orang yang pernah berbohong kemudian sadar dan mengakui kebohongannya itu sehingga terputusnya mata rantai kebohongan. Kejujuran berbuah kepercayaan, sebaliknya dusta menjadikan orang lain tidak percaya. Jujur membuat hati kita tenang, sedangkan berbohong membuat hati menjadi was-was. Contoh seorang siswa yang tidak jujur kepada orang tua dalam hal uang saku, pasti nuraninya tidak akan tenang apabila bertemu. Apabila orang tuanya mengetahui ketidakjujuran anaknya, runtuhlah kepercayaan terhadap anak tersebut. 

Kegundahan hati dan kekhawatiran yang bertumpuk-tumpuk berisiko menjadi penyakit. Menurut tempatnya, jujur itu ada beberapa macam, yaitu jujur dalam hati atau niat, jujur dalam perkataan atau ucapan, dan jujur dalam perbuatan.

1. Jujur dalam niat dan kehendak, yaitu motivasi bagi setiap gerak dan langkah seseorang dalam rangka menaati perintah Allah Swt. dan ingin mencapai ridho-Nya. Jujur sesungguhnya berbeda dengan pura-pura jujur. Orang yang pura-pura jujur berarti tidak ikhlas dalam berbuat.

2. Jujur dalam ucapan, yaitu memberitakan sesuatu sesuai dengan realitas yang terjadi. Untuk kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at seperti dalam kondisi perang atau mendamaikan dua orang yang bersengketa atau perkataan suami yang ingin menyenangkan istrinya, diperbolehkan untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Setiap hamba berkewajiban menjaga lisannya, yakni
berbicara jujur dan dianjurkan menghindari kata-kata sindiran karena hal itu sepadan dengan kebohongan. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.

3. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batiniah hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dan amal batin. Jujur dalam perbuatan ini juga berarti melaksanakan suatu pekerjaan sesuai dengan yang diridhoi Allah Swt. dan melaksanakannya secara terus-menerus dan ikhlas. Merealisasikan kejujuran, baik jujur dalam hati, jujur dalam perkataan, maupun jujur dalam perbuatan membutuhkan kesungguhan. Adakalanya kehendak untuk jujur itu lemah, adakalanya pula menjadi kuat.

Harus Berani Jujur

Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai arti sebuah kejujuran. Kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan dapat membawa ke surga. Sebaliknya, betapa berbahayanya sebuah kebohongan. Kebohongan akan mengantarkan pelakunya tidak dipercaya oleh orang lain. Ketika seseorang sudah berani menutupi kebenaran, bahkan menyelewengkan kebenaran untuk tujuan jahat, ia telah melakukan kebohongan. Kebohongan yang dilakukannya itu telah membawa kepada apa yang dikhianatinya itu.

Artinya: “...Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.’’ (Q.S. Ãli ‘Imran/3: 161)

Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al- Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

Artinya: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu, Ruwaibidhah berbicara.” Ada sahabat yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (H.R. Ibnu Majah).

HIKMAH PERILAKU JUJUR

Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari perilaku jujur, antara lain sebagai berikut.

1. Perasaan enak dan hati tenang. Jujur akan membuat hati kita menjadi tenang, tidak takut akan diketahui kebohongannya
karena tidak berbohong.

2. Mendapatkan kemudahan dalam hidup.

3. Selamat dari azab dan bahaya.

4. Membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan menuntun kita ke surga.

5. Dicintai oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya.

Jawablah soal-soal berikut dengan tepat!

1. Mengapa kita harus berani membela kebenaran dan kejujuran?

2. Buatlah contoh perilaku yang menggambarkan berani dalam membela kebenaran!

3. Buatlah contoh perilaku yang menggambarkan berani dalam membela kejujuran!

4.  Jelaskan maksud dari hadis berikut! Artinya: “Katakanlah yang benar walaupun itu pahit”(H.R. Ahmad). 

5. Jelaskan manfaat dari perilaku berani dalam kebenaran dan kejujuran!

SILAHKAN RANGKUM MATERI DIATAS DAN KERJAKAN SOAL LATIHANNYA DI BUKU PAI KALIAN MASING-MASING, LALU UPLOAD DI GOOGEL FORM BERIKUT INI :
https://docs.google.com/forms/RANGKUMAN DAN LJS MATERI SYAJAAH


Minggu, 13 September 2020

PERILAKU BEKERJA KERAS DAN TANGGUNG JAWAB

PERILAKU BEKERJA KERAS DAN TANGGUNG JAWAB

Membuka Relung Kalbu

Rasulullah saw. bersabda; “Bersegeralah melakukan
aktivitas kebajikan sebelum dihadapkan pada
tujuh penghalang. Akankah kalian menunggu
kefakiran yang menyisihkan, kekayaan yang
melupakan, penyakit yang menggrogoti, penuaan
yang melemahkan, kematian yang pasti, ataukah
dajjal, kejahatan terburuk yang pasti datang, atau
bahkan kiamat yang sangat amat dahsyat? (H.R.At-

Tirmidzi)

Permasalahan yang tengah kita hadapi betapa
besarnya. Berapa banyak lahan subur yang kemudian berubah gundul karena anak mudanya enggan menggarapnya. Tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar karena para pekerjanya malas. Sebaliknya, kalian dapat melihat lembaran sejarah umat yang pernah meraih sukses generasi terdahulu dalam mengisi waktunya

dengan kerja keras dan tanggung jawab akan agamanya.


Belajar dari Semut
Ada pepatah mengatakan “Di mana ada gula disitu ada semut” agaknya kurang tepat! Kenapa? Karena semut tetap hadir di mana-mana dengan aktif meski ada gula atau tidak. Semut walaupun kecil, tapi banyak hal positif yang dapat dipelajari lewat perilaku semut dan kebiasaan semut,karena itu di dalam al-Qurān ada surat bernama “Semut”, Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari perjalanan hidup semut, antara lain;

1. Semut tidak pernah putus asa; Coba bentangkan tangan untuk menutup jalan yang dilalui semut. Semut tidak akan putus asa, apalagi berhenti tapi terus berjalan mencari rute lain.

2. Semut pekerja keras; Pernahkah kalian melihat semut tidur-tiduran atau santai? Semut selalu rajin, aktif bekerja mengangkut makanan tanpa bosan karena ia pekerja keras.

3. Semut itu kuat; Semut sanggup mengangkat beban yang jauh lebih besar dari tubuhnya. Semut tak mengeluh dan bersungguh-sungguh dan tak patah semangat apalagi menyerah.

4. Semut berjiwa Sosial; Apa yang dilakukan semut ketika makanan yang hendak diangkat terlalu berat, semut tidak mempunyai sifat egois, mau menang sendiri, mereka akan tolong menolong untuk mengangkat bersama-sama. Semut cepat melihat peluang; semut cepat hadir ketika dia mengetahui peluang untuk mendapatkan makanan. Semut tak akan menyia-nyiakan peluang, sebab semut tahu peluang itu hanya datang sekali saja.
(Sumber: Haribowo; Mutiara Pagi)


Kewajiban Bekerja Keras dan Tanggung Jawab

Islam adalah agama yang mewajibkan kepada pemeluknya untuk berkarya. Bahkan Sayid Sabiq dalam bukunya ”Unsur-unsur Kekuatan dalam Islam” terjemahan Muhammad Abdai Rathomy mengatakan: “Islam adalah agama gerak dan membanting tulang dalam segala bidang kehidupan dan penghidupan manusia, sehingga dengan demikian ia dapat menunjukkan cara pembimbingan yang baik dan terpuji”. Dan Dr. Yusuf Al-Qardhamy dalam bukunya “Al-Imaanu Wal Hayaatu” mengatakan: yang diketahui dalam Islam hanyalah orang beriman itu bekerja, bersusah payah, menunaikan kewajibannnya dalam hidup ini, mengambil dan memberi, memperkenankan kehendak Allah Swt. terhadap manusia, mereka dijadikan khalifah di muka
bumi untuk memakmurkan bumi dan memanfaatkan isinya sebanyak mungkin, untuk kepentingan kemanusiaan.

Agama Islam tidak mengenal satu hari yang khusus untuk beribadah, sehingga di hari itu orang berhenti bekerja. Dalam ajaran Islam, setiap hari adalah hari kerja, dan bekerja untuk urusan dunia adalah apabila dikerjakan dengan niat yang jujur. Hari Jum’at yang dianggap hari besar dalam Islam, tiadalah dihari itu diperintahkan supaya berhenti bekerja, melainkan baru
sesudah mendengar panggilan adzan hingga sampai shalat Jum’at selesai disuruh berhenti bekerja, sebagaimana disebutkan dalam 

Firman Allah Swt. Q.S. al-Jum’at/62:9-10.

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah Swt. dan ingatlah Allah Swt. banyakbanyak
supaya kamu beruntung.” (Q.S. al-Jum’at/62:9-10).

Beginilah seharusnya kehidupan seorang muslim di hari Jum’at, bekerja dan jual beli sebelum shalat,kemudian dengan cepat mengingat Allah Swt. dengan melaksanakan shalat dan kembali bertaburan dibumi mencari karunia Allah Swt. sesudah selesai shalat. Islam telah memerintahkan/mewajibkan kepada pemeluknya untuk bekerja dan berkarya dengan berbagai cara, diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Dengan tegas memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk
bekerja dan berkarya, karena;

• Karya seseorang yang akan menentukan kualitas seorang
beriman, sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Ahqaaf/46:9 dan Q.S.Thaha/20:75.

• Allah Swt., Rasul-Nya dan orang-orang beriman akan memperhatikan karya seseorang, sebagaimana tersebut dalam Q.S.at-Taubah/9:105

• Karya orang-orang beriman harus dipertanggung jawabkan di
hadapan Allah Swt. nanti di akhirat, sebagaimana tersebut dalam
Q.S. an-Nahl/16:93.

b. Diperintahkan untuk mencari karunia Allah Swt., sebagaimana tersebut dalam Q.S.al-Jum’at/62:10 dan ayat yang semakna dalam Q.S. al- Isra’/17:12, karena;

• Karunia Allah Swt. hanya dapat dicari dengan berusaha, kerja keras untuk berkarya. Tanpa berkarya mustahil karunia Allah Swt. itu akan diperoleh.

• Sahabat Umar bin Khatab pernah melihat sekelompok orang disudut masjid sesudah shalat Jum’at. Umar bertanya; ”Siapakah kamu? Mereka menjawab; Kami orang-orang yang tawakal kepada Allah Swt. kemudian Umar mengusir mereka dan mengatakan: 

Janganlah seorang kamu berhenti mencari rizki dan hanya berdo’a: Ya Allah, berilah aku rizki, padahal dia mengetahui bahwa langit belum pernah menurunkan hujan emas, dan Allah Swt. telah berfirman;

”Dan apabila selesai mengerjakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah Swt.”

c. Diperintahkan untuk meneliti segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, sebagaimana tersebut dalam Q.S.al-A’raf/7:185.

• Perintah untuk meneliti alam ini banyak sekali ditemukan dalam Al-Qurān, misalnya dalam Q.S.ar-Rum/30:8, Q.S.ali-Imran/3:190.

• Penelitian itu harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga sampai
kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang ada di dalam alam ini
adalah ciptaan Allah Swt. dan Allah Swt. menciptakannya tidaklah
sia-sia.

d. Diperintahkan untuk menanggulangi kemiskinan, kebodohan, penyakit dan kedzaliman.

• Orang yang tidak berusaha untuk menanggulangi kemiskinan
adalah pendusta agama.

• Orang yang akan diangkat derajatnya hanyalah orang yang beriman dan mempunyai ilmu yang banyak.

• Allah Swt. melarang untuk mencelakakan diri dan berbuat dzalim
karena dzalim adalah sumber malapetaka atau kehancuran.

e. Diperintahkan untuk memakan makanan yang baik, memakai pakaian yang bagus, membuat rumah yang luas dan punya kendaraan yang bagus, serta mendidik anak-anak menjadi shaleh.

• Allah Swt. memerintahkan manusia untuk mencari rizki yang halal dan tayyib.

• Allah Swt. memerintahkan untuk menjaga dirinya, anak isterinya
dari api neraka.

• Hanya orang-orang yang shalih yang akan masuk surga.

f. Diperintahkan untuk menyiapkan semua kekuatan untuk menghadapi musuh, sehingga musuh itu menjadi ketakutan karenanya, sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Anfal/8:60.

Demikian cara yang dipakai oleh Islam untuk memerintahkan kepada para pemeluknya agar bekerja keras di dalam segala lapangan penghidupan mereka. Melalui berkarya di dalam segala lapangan kehidupan dan penghidupan mereka, maka Allah Swt. akan membalas dengan kehidupan yang baik (hayaatan tayyibah).

Pengertian Bekerja Keras dan Bertanggung Jawab

Bekerja Keras berarti berusaha atau berikhtiar secara sungguh-sungguh, dengan kata lain bekerja keras adalah bekerja dengan gigih dan sungguhsungguh untuk mencapai suatu yang dicita-citakan. Orang yang bekerja keras tidak berarti harus “banting tulang” dengan mengeluarkan tenaga secara fisik, akan tetapi dapat dilakukan dengan berpikir sungguh-sungguh dalam melaksanakan pekerjaannya atau belajar sungguh-sungguh untuk mencari ilmu.
Setiap orang yang bekerja keras harus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan atau prestasi tertentu yang diharapkan, kemudian disertai dengan do’a dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah Swt., untuk kepentingan dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman yang artinya sebagai berikut.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Swt. telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash/28:77)

Dengan demikian, sikap bekerja keras dapat dilakukan dalam menuntut ilmu, mencari rezeki, dan menjalankan tugas sesuai dengan profesi masing-masing. Sebagaimana telah dijelaskan tentang pentingnya bekerja keras sebagaimana tersirat dalam firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Jumu’ah/62:10 di atas, mengajarkan bahwa kita tidak saja melakukan ibadah khusus, seperti shalat, tetapi juga bekerja untuk mencari apa yang telah dikaruniakan Allah Swt. di muka bumi ini. Kemudian pada surat at-Taubah di atas mengisyaratkan bahwa kita harus berusaha sesuai dengan kemampuan maksimal kita dan hal itu akan diperhitungkan oleh Allah Swt.. Orang yang beriman dilarang bersikap malas, berpangku tangan, dan menunggu keajaiban menghampirinya tanpa adanya usaha. Allah Swt. menciptakan alam beserta segala isinya diperuntukkan bagi manusia. Namun, untuk memperoleh manfaat dari alam ini, manusia harus berusaha dan bekerja keras.

Rasulullah saw. juga menganjurkan umatnya untuk bekerja keras. Beliau menegaskan bahwa makanan yang paling baik adalah yang berasal dari hasil keringat sendiri. Tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang melebihi makanan yang berasal dari buah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud
as. makan dari hasil tangannya sendiri (H.R.Bukhari) Jadi semua umat Islam harus bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya termasuk dalam beribadah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun dalam hal ibadah mahdhah (khusus), seperti shalat, hendaknya kita beranggapan bahwa seolah-olah kita akan mati esok hari sehingga kita bisa beribadah dengan giat dan khusyu’. Hal ini sesuai dengan pesan Rasulullah
saw.: bersabda yang artinya: 

“bekerjalah untuk kepentingan duniamu seolaholah engkau hidup selama-lamanya; dan bekerjalah untuk kepentingan akhiratmu seolah-olah engkau akan mati esok hari”. (H.R. Ibnu Asakir).

Semua manusia yang hidup di dunia ini mempunyai dua kebutuhan yaitu; kebutuhan jasmani berupa makanan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. dan kebutuhan rohani berupa pengetahuan yang bermanfaat, dan nasihat yang sesuai dengan kebutuhan rohani. Semuanya itu dapat diraih apabila kita mau bekerja dengan sungguh-sungguh, maka Allah Swt. akan memberikan rizqi kepada makhluk-Nya.

Bekerja dan tanggung jawab merupakan keniscayaan dalam hidup. Orang beriman dituntut untuk selalu survive dan bangkit membangun peradaban seperti masa keemasan Islam. Syarat untuk itu tidak cukup ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas dan bertanggung jawab. Kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Ankabut/29:17:

Artinya:... Maka mintalah rezki itu di sisi Allah Swt., dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut/29: 17).

Ayat di atas, menjelaskan bahwa rezeki harus diusahakan, bahkan dalam Q.S.al-Isra’/17:12 dinyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki. Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah Swt. hanya akan diperoleh dengan kerja tinggi.
Al-Baihaqi dalam kitab ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip kerja keras dan tanggung jawab atas bentuk pekerjaannya kepada Allah Swt. yang diajarkan Rasulullah saw. Keempat prinsip itu harus dimiliki oleh setiap mukmin jika ingin menghadap Allah Swt. dengan wajah berseri bak bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan).

Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’. Analoginya, menjadi pegawai negeri sipil adalah halal. Tetapi jika jabatan pegawai negeri sipil digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula
halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’.

Berbeda dengan perampok. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah).

Orang beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah saw. pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya meminta-minta (mengemis). Beliau kemudian bersabda;

“Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah Swt. ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).

Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah saw. yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai
sedekah” (H.R. Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah Swt. dan Rasulullah saw. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah saw. bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah saw. memuji tangan Muadz seraya bersabda, 
“Tangan seperti inilah yang dicintai Allah Swt. dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). 

Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan
diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial dan tanggung jawab sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar.

“Hendaklah kamu beriman kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah Swt. telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Q.S. al-Hadid/57: 7).

Lebih tegas, Allah Swt. bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan dan tidak bertanggung jawab terhadap nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Q.S.al-Ma’un/107: 1-3), karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap
harta yang Allah Swt. titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi attahshil).
Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan
pelakunya ke pintu surga.

Makna Bertanggung Jawab

Tanggung Jawab secara bahasa artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawab, mananggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Secara istilah tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Bertanggung jawab
juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Artinya bertanggung jawab itu sudah merupakan bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.

Tanggung jawab adalah bagian dari ajaran Islam yang disebut mas’uliyyah. Setiap manusia harus bertanya kepada dirinya sendiri apa yang mendorongnya dalam berperilaku, bertutur kata, bertindak dan merencanakan sesuatu. Apakah perilaku itu berlandaskan akal sehat dan ketakwaan, atau malah dipicu oleh pemujaan diri, hawa nafsu, atau ambisi pribadi. Jika manusia dapat menentramkan hati nuraninya dan merespon panggilan jiwanya yang paling dalam, maka dia pasti bisa bertanggung jawab kepada yang lain. Allah
Swt. berfirman: dalam Q.S. al-Isra’/17:36:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Q.S. al-Isra’/17:36).

Berkaitan dengan tanggung jawab, setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang diperbuatanya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al- Mudatstsir/74:38 yang artinya:

 “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. 

Dengan demikian setiap gerak yang dilakukannya pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu akan meninggalkan bekas
atau pengaruh pada orang lain. Oleh karena itu, tanggung jawab seseorang tidak terbatas pada amalannya saja tetapi bisa melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya itu masih terus berlangsung bahkan mungkin sampai setelah dia meninggal.

Korelasi antara Perilaku Kerja Keras, Jujur, Tanggung Jawab, Adil dan Toleransi dalam Kehidupan Sehari Hari

Orang yang bekerja keras akan dengan senang hati menjalani kehidupan ini. Setiap detik kehidupan yang dijalaninya adalah kerikil kecil bagi dasar bangunan masa tuanya. Setiap detak nafas kehidupan dilaluinya dengan kepuasan hati.

Dan setiap langkahnya adalah perbuatan yang bermanfaat bagi siapa saja yang dijumpainya. Rasulullah saw. adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena mencari nafkah yang halal, Rasulpun menggenggam tangan itu, dan menciumnya
seraya bersabda; “Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya. Rasulullah saw. tidak pernah mencium tangan para pemimpin Quraisy, tangan para pemimpin Khabilah, Raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya putrinya Fatimah Az Zahra
dan tukang batu itulah yang pernah dicium oleh Rasulullah saw. Padahal tangan tukang batu yang dicium oleh Rasulullah saw. justru tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, kapalan, karena membelah batu dan karena kerja keras.

Peristiwa tersebut diatas memberikan gambaran kepada kita bahwa sebenarnya ada korelasi antara perilaku kerja keras dengan sikap jujur, tanggung jawab, adil dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Coba renungkan bagaimana respon para sahabat terhadap perilaku Rasulullah saw. ketika mencium tangan tukang
pemecah batu, yang kemudian diwujudkan dalam sebuah pertanyaan; “Wahai Rasulullah saw., seandainya kami bekerja seperti dilakukan orang itu, apakah kami dapat digolongkan jihad di jalan Allah Swt. (Fi sabilillah)?, maka alangkah baiknya.”
Mendengar itu Rasul pun menjawab,

“Kalau ia bekerja untuk menghidupi anakanaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah. (HR Thabrani).

Sedangkan orang-orang yang pasif dan malas bekerja, sesungguhnya tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan sebagian dari harga dirinya, yang lebih jauh mengakibatkan kehidupannya menjadi mundur. Rasulullah saw.
amat prihatin terhadap para pemalas (Perhatikan Q.S. al Jumu’ah/62:10 dan QS Nuh/71:19-20). Perilaku seorang muslim harus selalu bekerja keras dalam bidang pekerjaan yang
dipilihnya. Tidak mungkin pekerjaan yang dipilihnya akan berhasil maksimal jika kita bermalas-malasan, atau tidak mau bekerja keras. Kita akan jauh ketinggalan dari orang lain atau umat lain, jika kita tidak memiliki semangat kerja keras ini.

Agar hasil yang diperoleh dari bekerja keras mencapai tujuan, maka seseorang harus memiliki niat dan kemauan. Melakukan segala sesuatu harus dilandasi motivasi hanya mengharap ridha Allah Swt. Nilai sebuah amal di hadapan Allah Swt. sangat ditentukan oleh niat atau motivasi seseorang. Rasulullah saw. dalam
sebuah hadits yang sangat populer menyatakan bahwa sesungguhnya segala amal manusia ditentukan oleh niatnya. Selain itu, seorang muslim harus senantiasa menimbang-nimbang dan menilai segala sesuatu yang akan dilakukan apakah
benar dan bermanfaat. Apabila ia sudah yakin akan kebenaran dan kemanfaatan sesuatu yang akan dilakukan, maka tanpa ragu-ragu lagi untuk dilakukan. Rasulullah saw. mengingatkan dalam sabdanya; 

"Jaminlah kepadaku enam perkara dari diri kalian, niscaya aku menjamin bagi kalian surga: jujurlah jika berbicara, penuhilah jika berjanji, tunaikan jika dipercaya, jagalah kemaluan kalian,
tundukanlah pandangan, dan tahanlah tangan kalian” (HR. Ahmad).

Seorang pekerja keras di samping jujur dalam niat, lisan dan jujur dalam berjanji, tidak akan sempurna jika tidak dilengkapi dengan jujur ketika berinteraksi atau bermu’amalah dengan orang lain. 

Seorang muslim tidak pernah menipu, memalsu, dan berkhianat sekalipun terhadap non muslim. Ketika ia menjual tidak akan mengurangi takaran dan timbangan, ketika ia bekerja, bekerja dengan maksimal sesuai target yang ditetapkan. Pada saat membeli tidak akan memperberat timbangan dan menambah takaran. Orang bekerja keras juga perlu jujur dalam berpenampilan sesuai kenyataan. Seorang yang jujur akan senantiasa menampilkan diri apa adanya sesuai kenyataan yang sebenarnya. Ia
tidak memakai topeng dan baju kepalsuan, tidak mengada-ada dan menampilkan diri secara bersahaja.

Kenapa perilaku bekerja keras harus berperilaku jujur, tanggung jawab, adil dan toleransi dalam kehidupannya? Seorang yang bekerja tentu berkaitan erat dengan kewajiban yang dibebankan padanya. Semakin tinggi kedudukannya di masyarakat maka semakin tinggi pula tanggung jawabnya, kejujurannnya,
berprilaku adil dan toleran. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas perilaku dirinya, keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakatnya dan rakyatnya.

Tanggung jawab vertikal ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Siswa, kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur, dan kepala negara, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang dipimpinnya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan
itu kecuali dengan ekstra hati-hati dan senantiasa akan memperbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggungannya. Para salafus sholih banyak
yang menolak jabatan sekiranya ia khawatir tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut

kecuali bila selalu melakukan kontrol, mereformasi yang rusak pada rakyatnya, menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang yang sholeh.
Islam memerintahkan kepada kita agar kita berlaku adil kepada semua manusia. yaitu keadilan seorang muslim terhadap orang yang dicintai, dan keadilan seorang muslim terhadap orang yang dibenci. Sehingga perasaan cinta itu tidak bersekongkol dengan kebathilan, dan perasaan benci itu tidak mencegah dia dari
berbuat adil (insaf) dan memberikan kebenaran kepada yang berhak.

Sejak dari kecil kita selalu diajarkan sikap sopan santun, jujur, adil, toleran dan berbagai aturan-aturan yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat atau sosial. Pembelajaran tersebut bertujuan agar sejak dini kita dapat menanamkam
dan menerapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam diri kita yang sendirinya akan sangat mempengaruhi bagaimana kita bersikap di dalam lingkungan masayarakat kita.

M e n e r a p k a n P e r i l a k u Mulia

Menerapkan perilaku kerja keras dan bertanggung jawab dapat diwujudkan antara lain dengan langkah-langkah berikut.

1. Menggunakan waktu secara efektif dan efisien
Waktu yang diberikan Allah Swt. untuk manusia sehari semalam tidak lebih dari 24 jam. Dan waktu 24 jam ini sebaiknya dimanfaatkan secara efektif untuk beribadah kepada Allah Swt., untuk bekerja, dan digunakan untuk beristirahat.

2. Gali dan kembangkan potensi diri secara baik
Allah Swt. melengkapi manusia dengan fithrah cerdas, cerdas fisik, cerdas emosi, cerdas intelektual, cerdas kebajikan dan cerdas akhlak. Dengan kerja keras dan tanggung jawab manusia dapat mengembangkan berbagai potensi cerdasnya untuk meraih kesuksesan. Kemampuan-kemapuan menggali dan mengembangkan potensi diri inilah yang pada akhirnya dapat
mengisi aktivitas manusia dalam menghabiskan waktunya.

3. Selalu Fokus, Melabelkan diri dan Berkata Positif 
Bentuk kerja keras yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari harus selalu fokus, dan berani melabelkan diri bahwa pasti sukses dan berhasil dengan diiringi kata-kata positif pasti bisa dan menjauhkan diri dari kata putus asa, tidak mampu dan sebagainya. Seseorang dapat sukses dalam usahanya jika mereka bekerja keras.

4. Tekun dalam Bekerja
Pekerjaan apapun yang ditekuni oleh seseorang, hendaknya dilakukan dengan niat baik, professional dan azam (kemauan) yang kuat. Jangan melakukan pekerjaan yang sia-sia yang tidak ada manfaatnya. Jangan sekalikali melakukan suatu pekerjaan didasari dengan sikap malas.

Kerjakan soal-soal di bawah ini 

1. Jelaskan apa saja yang harus dilakukan oleh umat Islam terhadap ayat-ayat al-Qurān dan hadist yang menjelaskan tentang kewajiban bekerja keras dan tanggung jawab dalam setiap aktivitas!

2. Berdasarkan analisis kalian, jelaskan beberapa manfaat dari bekerja keras dan bertanggung jawab!

3. Nyamuk yang biasa terbang ternyata menjadi makanan cicak yang tidak dapat terbang. Coba kalian analisis maknanya di balik fakta tersebut!

4. Jelaskan karakteristik orang yang bekerja keras dan bertanggung jawab!

5. Jelaskan sikap dan perilaku umat islam yang sejalan dengan ajaran Islam tentang kewajiban bekerja keras dan bertanggung jawab

SILAHKAN ISI JAWABAN NYA DIBUKU PAI KALIAN MASING-MASING LALU UPLOAD DI LINK GOOGLE FORM BERIKUT :
LINK UPLOAD LJS MATERI PERILAKU BEKERJA KERAS DAN BERTANGGUNG JAWAB


Senin, 07 September 2020

IMAN KEPADA KITAB ALLAH SWT

 IMAN KEPADA KITAB ALLAH SWT

PENGERTIAN IMAN

Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk.
Adapun secara istilah, Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : Pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang (lihat Kitab Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9).

AL QUR'AN DAN KITAB-KITAB ALLAH SWT

Iman kepada Kitab Allah Swt. artinya meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt telah menurunkan kitab kepada Nabi atau Rasul yang berisi wahyu untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Di dalam Al Quran disebutkan bahwa ada 4 kitab Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi-Nya. 4 Kitab tersebut Yaitu; Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa AS., Zabur kepada Nabi Daud AS., Injil kepada Nabi Isa AS., dan Al Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw. Hal tersebut selaras dengan firman Allah Swt dalam surat Al Maidah ayat 48 


Kitab-kitab yang dimaksud pada ayat di atas adalah kitab yang berisi peraturan, ketentuan, perintah, dan larangan yang dijadikan pedoman bagi umat manusia. Kitab-kitab Allah Swt. tersebut diturunkan pada masa yang berlainan. Semua kitab tersebut berisi ajaran pokok yang sama, yaitu ajaran meng-esa-kan Allah Swt. (tauh³d). Yang berbeda hanyalah dalam hal syariat yang disesuaikan dengan zaman dan keadaan umat pada waktu itu.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, Allah Swt. juga menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya. Wahyu tersebut berbentuk suhuf, yaitu wahyu Allah Swt. yang berupa lembaran-lembaran yang terpisah. Dalam al-Qur’an disebutkan adanya suhuf yang dimiliki Nabi Musa as. dan Nabi Ibrahim as. Perhatikan firman Allah Swt. berikut ini dalam surat Al-A'la ayat 18-19





Artinya: “Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) suhuf-suhuf (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Ibrahim dan Musa.” (Q.S. Al-A'la ayat 18-19)

Perhatikan secara singkat penjelasan tentang kitab-kitab yang Allah Swt. turunkan kepada para Nabi-Nya.

1. Kitab Taurat

Kata Taurat berasal dari bahasa Ibrani (thora: instruksi). Kitab Taur±t adalah salah satu kitab suci yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Musa as. Kitab Taurat menjadi petunjuk dan bimbingan bagi Bani Israil. Firman Allah Swt:

Artinya: “Dan Kami berikan kepada Musa, Kitab (Taurat) dan Kami jadikannya petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), Janganlah kamu mengambil (pelindung) selain Aku”. (Q.S. al-Isra’/17: 2)

Taurat merupakan salah satu dari tiga komponen (Thora, Nabin, dan Khetubin) yang terdapat dalam kitab suci agama Yahudi yang disebut Biblia ( al-Kitab). Oleh orang-orang Kristen disebut Old Testament (Perjanjian Lama). 

Isi pokok Kitab Taurat dikenal dengan Sepuluh Hukum (Ten Commandements) atau Sepuluh Firman. Sepuluh Hukum (Ten Commandements) diterima Nabi Musa as. di atas Bukit Tursina (Gunung Sinai). Sepuluh Hukum tersebut berisi asas-asas keyakinan (akidah) dan asas-asas kebaktian (syari'ah), seperti berikut.

1. Tiada Tuhan selain Allah Swt.

2. Jangan menyembah berhala

3. Jangan mempersekutukan Allah Swt.

4. Sucikan hari sabat (hari Sabtu).

5. Hormati kedua orang tuamu.

6. Jangan membunuh.

7. Jangan berzina.


8. Jangan mencuri.

8. Jangan mencuri.

9. Jangan bersumpah palsu (bersaksi dusta).

10. Jangan menginginkan milik orang lain (menginginkan hak orang lain).

2. Kitab Zabur

Kata zabur (bentuk jamaknya zubμr) berasal dari zabara-yazburu-zabr yang berarti menulis. Makna aslinya adalah kitab yang tertulis. Zabμr dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan mazmur (jamaknya
mazamir). Dalam bahasa Ibrani disebut mizmar, yaitu nyanyian rohani yang dianggap suci. Sebagian ulama menyebutnya Mazmμr, yaitu salah satu kitab suci yang diturunkan sebelum al-Qur’±n (selain Taurat dan Injil ).

Dalam bahasa Ibrani, istilah zabur berasal dari kata zimra, yang berarti “laguatau musik”. Zamir (lagu) dan mizmor (mazmur), merupakan pengembangan dari kata zamar, artinya “nyanyi, nyanyian pujian”. Zabur adalah kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada kaum Bani Israil melalui utusannya yang bernama Nabi Daud as.
Ayat yang menegaskan keberadaan Kitab Zabμr antara lain:

Artinya: “Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya, dan Kami telah mewahyukan (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah memberikan Kitab Zabūr kepada Daud.” (Q.S. an-Nisā'/4:163)

Kitab Zabur berisi kumpulan ayat-ayat yang dianggap suci. Ada 150 surah dalam Kitab Zabμr yang tidak mengandung hukum-hukum, tetapi hanya berisi nasihat-nasihat, hikmah, pujian, dan sanjungan kepada Allah Swt.

Secara garis besar, nyanyian rohani yang disenandungkan oleh Nabi Daud as. dalam Kitab Zabμr terdiri atas lima macam:

1. nyanyian untuk memuji Tuhan (liturgi),

2. nyanyian perorangan sebagai ucapan syukur,

3. ratapan-ratapan jamaah,

4. ratapan dan doa individu, dan


5. nyanyian untuk raja.

3. Kitab Injil

Kitab Injil diwahyukan oleh Allah Swt. kepada Nabi Isa as. Kitab Injil diturunkan kepada nabi Isa as. Kitab Injil yang diturunkan kepada nabi Isa as. memuat keterangan keterangan yang benar dan nyata, yaitu perintah-perintah Allah Swt. agar manusia meng-esa-kan dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Dalam Kitab Injil terdapat pula keterangan mengenai akan lahirnya nabi yang terakhir dan penutup para nabi dan rasul, bernama Ahmad atau
Muhammad saw.

Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa as. sebagai petunjuk dan cahaya penerang bagi manusia. Nabi Is as. diutus untuk mengajarkan tauhid kepada umat atau pengikutnya. Tauhid di sini artinya meng-esa-kan Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
Penjelasan ini tertulis dalam Q.S. al- Hadid /57: 27.

Artinya: “Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya....” (Q.S. al-Hadid/57: 27)

Kitab Injil dan Kitab Taurat, yakni sudah mengalami perubahan dan penggantian yang dilakukan oleh tangan manusia. Kitab Inj³l yang sekarang memuat tulisan dan catatan perihal kehidupan atau sejarah hidup Nabi Isa as. Kitab ini
ditulis menurut versi penulisnya, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yahya (Yohana). Mereka sebenarnya bukanlah orang-orang yang dekat dengan masa hidup Nabi Isa as. Sejarah mencatat sebenarnya masih ada lagi Kitab Injil versi Barnaba. Isi dari Injil Barnaba ini sangat berbeda dengan isi empat Kitab Injil

yang tersebut di atas.

4. Kitab al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril, Al-Qur’an diturunkan tidak sekaligus, melainkan secara berangsur-angsur. Al-Qur’an diturunkan selama kurang lebih 23 tahun atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari. Al-Qur'an terdiri atas 114 surah, 30 juz dan 6236 ayat menurut riwayat Hafsh, 6262 ayat menurut riwayat ad-Dur, atau 6214 ayat menurut riwayat Warsy. Wahyu yang terakhir turun adalah Q.S. al-M±idah ayat 3. Ayat tersebut turun pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah di Padang Arafah, ketika Nabi Muhammad saw. sedang menunaikan haji wada’ (haji perpisahan). Beberapa hari sesudah menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad saw wafat.

Intisari al-Qur'an

Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. menghapus
sebagian syariat yang tertera dalam kitab-kitab terdahulu dan melengkapinya dengan tuntunan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Qur’an merupakan kitab suci terlengkap dan berlaku bagi semua umat manusia sampai akhir zaman. Oleh karena itu, sebagai muslim kita tidak perlu meragukannya sama sekali.
Firman Allah Swt.:

Artinya: “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 2)

Nama-Nama Lain Al-Qur’an

Nama-nama lain dari al-Qur’an, yaitu:

a. Al-Huda, artinya al-Qur’an sebagai petunjuk seluruh umat manusia.

b. Al-Furqan, artinya al-Qur’an sebagai pembeda antara yang baik dan buruk.

c. Asy-Syifa', artinya al-Qur’an sebagai penawar (obat penenang hati).

d. Az-Zikr, artinya al-Qur’an sebagai peringatan adanya ancaman dan balasan.


e. Al-Kitab, artinya al-Qur’an adalah firman Allah Swt. yang dibukukan.

Isi Al-Qur’an

Adapun isi pokok al-Qur’an adalah seperti berikut.

a. Aqidah atau keimanan.

b. 'Ibadah, baik 'ibadah mahdah maupun gairu mahdah.

c. Akhlaq seorang hamba kepada Khaliq, kepada sesama manusia dan alam sekitarnya.

d. Mu’amalah, yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia.

e. Qissah, yaitu cerita nabi dan rasul, orang-orang saleh, dan orang-orang yang ingkar.

f. Semangat mengembangkan ilmu pengetahuan.

Aktivitas

Keistimewaan Al-Qur’an

Keistimewaan kitab suci al-Qur’an adalah sebagai berikut.

a. Sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.

b. Sebagai informasi kepada setiap umat bahwa nabi dan rasul terdahulu mempunyai syariat (aturan) dan caranya masing-masing dalam menyembah Allah Swt.

c. Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir dan terjamin keasliannya.

d. Al-Qur’an tidak dapat tertandingi oleh ide-ide manusia yang ingin
menyimpangkannya.

e. Membaca dan mempelajari isi al-Qur’±n merupakan ibadah.
Umat Islam wajib mengimani dan mempercayai isi al-Qur’±n karena al-
Qur’an merupakan pedoman hidup umat manusia, terlebih lagi pedoman hidup umat Islam. Apabila kita tidak mengimani dan mengamalkannya, kita termasuk orang-orang yang ingkar (kafir).
Cara mengamalkan isi al-Qur’an adalah dengan mempelajari cara belajar membaca (mengaji) baik melalui iqra’, qiraati, atau yang lainnya. Kemudian, mempelajari artinya, menganalisis isinya, dan mengamalkannya.

Kita sebagai umat Islam, wajib meyakini dan memercayai semua kitab-kitab Allah Swt, baik Taurat, Zabur, Injil, dan al-Qur’±n. Keimanan kepada kitab-kitab selain al-Qur’±n, dilakukan dengan cara menghormati dan menghargai keyakinan mereka. Tetapi keyakinan terhadap al-Qur’±n, bukan hanya sekedar percaya di dalam lisan dan hati saja, tetapi harus diwujudkan dalam perilaku kita sehari-hari.

Keselamatan dan ketenteraman hidup baik di dunia maupun di akhirat dapat kita raih apabila kita menjadikan al-Qur’±n sebagai pedoman dalam menjalani hidup sehari-hari.
Mari kita mulai saat ini untuk menjadikan al-Qur’n sebagi pedoman hidup dengan cara membaca, mempelajari, mengkaji, dan mengamalkan isi kandungannya.

LATIHAN SOAL

1. Jelaskan lah pengertian tentang Suhuf-Suhuf !

2. Selain Suhuf-Suhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa As siapakan Nabi dan Rasul yang mendapatkan Suhuf-suhuf, sebutkan nama dan isi suhufnya!

3. Carilah ayat-ayat yang mendukung keberadaan kitab-kitab sebelum al-Qur’ān, sebutkan surat dan ayatnya!

4. Jelaskan pesan-pesan yang terkandung dalam ayat yang kamu temukan tersebut!

5. Carilah ayat-ayat al-Qur’ān yang mengandung nama-nama Al Qur'an berikut :Al-Huda, Al-Furqan, As-Syifa, Az-Zikr, Al-Kitab Sebutkan surat dan ayat nya!

6. Jelaskan makna dari ayat-ayat Al Quranyang kamu temukan tentang Nama Al-Qur'an

Kerjakan dibuku tulis PAI kalian lalu jawabannya di foto ubah ke PDF dan upload di link Google Form Berikut :

LINK LJS MATERI IMAN KEPADA KITAB ALLAH SWT

Popular Posts